Senin, 17 Maret 2008

Lontar Perempuan Dari Masa Lalu
Ini tulisan saya terakhir yang nongol di media cetak, hampir satu tahun yang lalu, lama ya? saya sih uda coba terus tuk mengirim tulisan-tulisan yang lain, sayang belum ada yang laku. Tapi saya tahu itu hanya sepenggal kisah untuk membesarkan anak-anak kita. Kini, blog ini akan menjadi orang tua asuh yang baik untuk membesarkan anak-anak pikiran saya.

Jambangmu Mik, yang membuat aku semakin yakin bahwa sepi kini telah menjadi ideologi baru dalam sisa hidupmu. Setelah kemarin, kau bergelut dengan kegelisahan tentang penerimaan dari keharusan menjalani denting nada kehidupan.

Satu nada lagu kau peruntukkan untukku. Aku tahu telah banyak kau ciptakan lagu kehidupan lain, juga untuk yang lainnya. Sudahlah, cukup untukmu dalam mengagungkan seorang nama. Bahkan untuk diriku.

Lagumu Mik, yang memaksa rayuan banyak orang tiada pernah membekas dihatiku. Sampai akhirnya, engkau juga rasa. Riak gemuruh aku alirkan, kusandarkan segala asahku pundakmu. Aku juga tahu, kau terus bertanya, jejak kisah yang kurenggut lewat pesona, biji asmara yang ku tebar dilapang kaki-kaki kekar.

Jawabku mungkin tidak pernah membuatmu lega. Aku tahu bahasa tubuh tidak membuatmu yakin tentang hasrat rasa dari hati yang terdalam. Karena begitu saja kau menampik setiap pesan yang datang ditujukan kepadamu. Katamu, “jangan percaya dengan tanda-tanda sebab ia sering menjebakmu, apalagi dari orang yang paling kau cintai”. Berkali-kali ku menyindirmu lewat gerak dan ucap yang bergurau. Sungguh aku telah menakarmu; untuk menjadi muara dari segala pengharapan.

Sampai malam hari itu, tempat kita bertemu yang terakhir. sebelum pagi hari, dimana kau mengatarku; aku berhasil meyakinkanmu. Kita begitu mencitai gelap malam itu. Untuk hal ini ijinkan aku mewakili warna dihatimu. Kita sepakat untuk saling berbagi. Seperti katamu, yang sering kau kutip dari pendapat temanmu, “menjadikan kamar mandi itu untuk ditempati bersama.”

Tapi Mik, beban itu bukan kita saja yang menanggung. Kita telah melakukan banyak laku untuk membujuk orang supaya mereka berdiri dibelakang kita. Keyakinan kita, pada masing-masing gelora hati kita telah disodorkan sebagai sutau kebanaran.

Aku kehilangkan sentuhan untuk membuat mereka percaya bahwa hasrat pada diri kita benar-benar bernilai baik. Mereka terlalu angkuh untuk menerima hasrat kita. Aku menyerah....

Tergesah aku meninggalkanmu. Memberi kau amarah. Layaknya mata hewan yang dikorbankan, kau melepasku demi sebuah keharusan yang lebih kuat. Lebih egois menurutmu. Sekali lagi kau harus mengulang makna dari penerimaan. Kehilangan sampai kau temukan lagi haru biru roman yang berkelindan itu... ah, mungkin itu hanya pengharapanku.

Nyatanya, Mik. Kau tidak berdamai dengan romantisme masa lalumu. Masa lalu kita. Dimana aku telah melangkah jauh. Hari ini telah kubesarkan anak-anakku. Menemani mereka pergi ke sekaloh. Telah ketemukan betapa nikmat menganti popok mereka. Telah juga kualami getir malam, saat-saat nyawa kecil itu kehauasan dan kedinginan.

Kupandangkan pandanganku kepadamu. Sedikit mengajakmu pada yang belum kau alami. Walau mungkin telah kau pikirkan. Membagi hidup dengan orang lain, satu rumah, satu kamar mandi memerlukan pengorbanan yang luar biasa. Bahkan keharusan mengubur masa lalu.

Memang terkadang, wajah kerasmu tersembul di atap-atap kamar tidurku. Pada saat terakhir kau mengatarku, melewati jembatan berkelok menuju stasiun kereta di pagi buta. Di pagi hari yang dingin, sedingin kita yang seakan tahu itu hari terakhir buat janji kita. Pengingkaran terhadap segala macam bentuk pengecualian yang bergema diantara sekian paru kita bahwa rialitas dapat kita kalahkan. Pengingkaran bahwa kita terlahir dari kehendak orang yang menyuapi kita. Kita berbicara keharusan untuk tunduk, dengan dua pilihan; keinginan gelora hati yang tanpa kesekapatan dengan begitu banyak ego dari masing-masing kita. Atau kita harus tunduk pada kesepakatan kita, hanya kita. Tanpa kesepatan yang lain. Pada liang kita, pada Tuhan kita dan pada adat kita.

Serentak kemudian, bayangmu hilang dan derap langkah dari ayah anak-anakku mendekat dengan kelelahan yang tidak dibuat-buat karena telah berkerja sepanjang hari yang menyengat. Awalnya, bayangmu bukan hanya ada di atas kamar. Tapi juga di dinding kamar, di jendela, juga di meja tempat aku memasak. Tapi kini bayangmu sudah jarang datang. Sesering aku untuk mencoba memberi ketulusan kepada laki-laki yang telah memberikan kelahiran dari anak-anakku. Dan anak-anak yang riang, berangsur membesar telah menelan semua bayang dirimu muncul. Mungkin bayangmu berusaha datang dari jalan gelap menuju rumuhku. Tapi sudah tidak berani memasuki rumah anak-anakku.

Kau tahu hidup ini bukan hanya batas haru biru. Aku tidak bilang dengan kesendirian itu kau hanya berdiam diri. Mungkin kerasnya hidup yang kau jalani setelah hari-hari yang tidak kuketahui lebih menempamu tentang makna kehidupan. Mungkin banyak hal yang besar telah kau lakukan. Hanya kesendirianmu yang tetap membuatku gelisah.

Pilihan untuk tetap menyendiri sudah cukup lama, untukmu Mik. Jika luka untuk disembuhkan ada padamu telah dilalui. Kesendirianmu yang menjelaskan bahwa waktu bukan penghapus luka. Jangan, jangan katakan kamu tidak terluka. Bergesaslah berpaling dariku, jika luka itu dimulai dari pemantik api yang kunyalakan. Padamkan.

Kemudian hari beringsut senja. Setelah bolak-balik kubaca suratmu. Tarikan nafas yang dalam dan hembusan yang panjang mengakhir sepucuk suratmu. Aku belum berniat membalasnya...mungkin juga tidak.


Selanjutnya..