Rantau
Kembali hadir dengan kegalauan. Selalu ingin berlari dengan nafas yang tersengal. Selamat membaca.
Aku pulang kembali. Bukan ke tempat asalku memang. Bukan ke tempat di mana aku di perkenalkan untuk pertama kalinya pada suatu nama. Aku kembali pulang kepada suatu tempat dimana kita pertama kali bertemu. Aku pulang ke tempat dimana sebuah asah tentang cita dan cinta tumbuh dan disemai. Aku kembali pulang kepada tempat dimana untuk pertama kalinya aku berangkat melancong dengan segala kecemasan tentang dunia anta-beranta.
Sengaja aku kembali pulang ke tempat penuh buai ini. Meskipun aku sadari, sesungguhnya tidak minat penuh untuk kembali lagi. Untuk apa tempat ini lagi? Jujur saja, semakin sedikit orang yang kukenal. Jarum jam seakan terhitung mundur untuk menghapus semua orang-orang yang pernah kukenal. Semuanya hanya menunggu waktu untuk menjadikan aku asing.
Ya, seharusnya aku tidak kembali ke tempat kita bertemu lagi. Aku sadar itu. Jika aku bertemu dirimu lagi dan kumintai saran dirimu – bahkan tanpa diminta pun— kau akan bertanya, “mengapa kau tetap di sini?” di tempat kita untuk pertama kalinya bertemu. Dan tanpa kujawab pun kau akan menghujamku dengan nasehat untuk segera mengukir situs baru, yang tentunya tidak di tempat ini.
Aku pun berpikir demikian. Seharusnya aku tidak kembali ke tempat ini lagi. Suatu belukat berangin sepoi yang meninabobokan ini. Seharusnya aku hanya datang sesekali ke tempat ini. Aku tahu, tempat ini lebih pantas hanya dikunjungi daripada ditinggali. Dengan hanya berkunjung angin sepoi itu akan membelai rasaku, merangsang senyumku kepada kenangan masa lalu. Mungkin kepada teman-teman lama, dan pasti kepadamu. Dengan demikian jaring-jaring jenaka di hari-hari bersama kemarin itu akan terasa nikmat.
Seharusnya aku kembali pulang ke tempat dimana aku dilahirkan. Kepada orang-orang yang dengan setia menunggu kepulanganku. Kepada seorang nenek yang masih mengangap aku seperti anak belasan tahun, yang tetap memberikan beberapa lembar uang ribuan. Juga kepada Ibu dan Ayahku bukan? Yang selalu bertanya, “berapa lama kau tinggal di rumah.” Dan karena jawabku hanya menunjuk pada bilangan hari, mereka berbuat apa saja untuk menjamu dan menyenangkanku. Hari yang pendek di rumah sendiri adalah sebuah nikmat seorang anak. Sebuah daya pikat arti keluarga.
Tidak. Bukan karena aku ingin menjebakkan diri pada lingkup yang memabukan ini. Semuanya hanya sebuah pilihan. Aku sudah sering bercerita kepadamu bahwa aku tidak mungkin terlalu lama di tempat kelahiranku. Tak banyak yang dapat aku kerjakan di sana. Jangan kau tanya tentang kerinduan. Bukankah tidak ada tempat yang paling nyaman selain tempat dimana kita terlahir untuk pertama kali? Mungkin selalu ada perselisihan tapi semuanya hanya bentuk lain dari ketulusan kasih sayang. Aku sudah berulang kali berujar kepadamu bahwa cinta keluarga adalah cinta kedua yang tanpa pamrih selain yang menciptakan kita.
Bukan soal kerinduan. Soalnya adalah derap untuk berpacuh itu yang memaksa untuk saling meninggalkan. Aku tahu, orang-orang rumah menyimpan rindu yang dalam dibandingkan aku. Sebab mereka tahu aku mempunyai keinginan, dilepaslah diriku dengan mata air tulus. Ibu selalu berkata, “dimanapun kau berada asal bahagai tidak soal bagi ibu.”
Aku memilih tempat ini untuk kembali pulang sebab di sini tempat terbaik untuk saat ini. Kepada banyak pihak yang mempertanyakan bahwa kepulangan ini dianggap sebagai kemandekan aku pun memakluminya. Di sini juga tidak banyak yang aku kerjakan selain napak tilas yang juga mulai membosankan. Tapi aku berpikir ini lebih baik dibandingkan aku kembali ke rumah. Jujur saja aku belum berani pulang hanya untuk berbagi keresahan betapa aku kini mulai tersingkir dari arena pacu. Harapan tinggi penghuni rumah telah dibayar dengan kerelaan dalam menunggu rindu. Makanya aku kembali ke tempat ini lagi.
*******
Aku kembali pulang di tempat ini lagi setelah kemarin aku pergi –mencoba beringsut tepatnya—menuju tempat lain. Aku begitu risau ketika mendegar lengkingan peluit kereta api yang akan membawaku. Kuhitung kemungkinan-kemungkinan di sana. Siapa yang harus kuhubungi terlebih dulu? Ada beberapa teman lama yang katanya sudah berhasil. Aku punya semua kontaknya. Tapi risauku tetap tidak bisa pergi dari kepala. Ia terus menggodaku dengan kemungkinan buruk. Bagaimana mereka menanggapi kedatanganku? Masihkah mereka akan bersikap seperti dulu ketika bersama di tempat ini?
Mungkin ada beberapa tapi itu tidak menjamin. Waktu akan menghapus semua yang silam. Hanya ada butiran-butiran kecil yang membekas, dan pasti akan menguap juga seiring penat hari yang semakin panas. Aku selalu menimbang, ya aku orangnya tidak begitu nekat. Jika menggantung kepada orang lain, aku kira itu bukan jawaban atas semua keinginan untuk berjalan maju.
Kuhitung kembali bekal dalam benakku. Ada beberapa rupiah di saku. Aku juga tidak tahu, dalam kebingunganku di tempat persinggahan baru –kutaklukan kalau bisa— akan bertahan berapa lama. Lalu kukuatkan diri dengan kemungkinan nasib baik, “semua akan membaik bila aku diterima,” gumamku pada diri sendiri.
Sebelumnya seorang teman memberi saran untuk bertahan di tempat baru itu. Di sana banyak pilihan. “Setiap kota itu bagai tempurung, semakin besar tempurungnya semakin akan semakin jauh melompat,” nasehatnya.
“Di sana banyak orang saling melompat kawan,” sanggahku. “Memang kau pikir aku punya lompatan sangat jauh.” Temanku itu masih belum menyerah, “kalau tidak bisa melompat jauh, ya carilah pijakan yang kuat dan bergelantunglah pada gantungan yang kokoh,” ocehanya kepadaku kemudian. “Itu soalnya. Aku tidak tahu gantungan yang kokoh itu. Lagi pula aku tidak tahu sejauh mana aku bisa melompat,” tandasku. “Makanya perlu dicoba,” dia berlalu mengakhiri pembicaraan.
Aku pikir, kepergianku dari tempat ini semacam uji coba. Tidak, mungkin ini hanya coba-coba. Toh akhirnya, tidak ada waktu untuk berpikir lebih panjang lagi. Kereta menjerit, perlahan gerbong-gerbong tua itu meliuk-liuk. Aku tergunjang-gunjang di dalamnya, sama seperti dalam mimpiku yang datang selih berganti, antara ketakutan hidup terlunta dan senyum untuk berbagi cerita sentosa.
******
Aku ingin tersenyum di tempat baru ini, meski bisingnya minta ampun. Tidak ada senyum di sini. “Ini tidak mendadak,” keluhku. Semunya berjalan terburu seakan berlomba dalam mencari tempat berteduh. Mungkin karena tidak ada kepastian. Semuanya berlalu begitu cepat.
Ku hubungi teman-teman lamaku. Ada yang mau menampungku. Tapi tetap saja muncul pertanyaan tentang keperluanku. Ku jawab, “aku beruji coba, jika berhasil akan tinggal di sini.” Jawabku membuat semua mengerti. Maklum, banyak orang yang terus berdatangan ke tempat ini. Di sini, tempat orang mencari kerja, berjuang dan berkarya.
Tapi semuanya tidak berjalan sesuai dengan keinginan. “Ada yang tidak beres dengan kesempatan ini,” pikirku. Betapa tidak, ketika aku harus menyambutnya dengan percaya diri. Sementara rasa takut dan getir disembunyikan dibalik punggung. Ditutup rapat. Ada bahaya mengendap, jika apa yang ada dibalik punggungku bisa ketahuan. Itu sama artinya aku tidak memperoleh apa-apa. Tidak ada prestasi, tidak ada situs baru dan tidak ada pula senyum itu.
Dan sekali lagi itu menjadi masalah bagiku. Aku benar-benar harus belajar, agar orang percaya terhadap yang kumiliki dan menafikkan atas kekuranganku. Ini seni tingkat tinggi, tidak bisa diformilkan. Aku pikir juga tidak ada hubungannya dengan nasib baik. Ini benar-benar kedinginan untuk tidak menghiraukan segala hiruk-pikuk di sekitar. Cuek!!!!
Sementera waktu terus beringsut, tak juga datang kabar keberhasilan itu. Suatu yang barangkali begitu berat sebab semuanya hanya ilusi yang berdentum dengan keras. Gema berputar seperti beliung yang jalang menghempaskan siapa saja. “Tanpa ada yang pasti, mustahil aku bertahan di sini,” bertutur aku sambil menengadah pada langit yang tidak berbintang. Cukup sudah kali ini. Mungkin aku datang kembali lain kali, mengadu badan dengan bising di sini. Lebar juga kemungkinan aku terpelanting dan terjatuh. Tapi apa salahnya menambah satu kegagalan.
Dan kini aku kembali pulang ke tempat pertama kali kita bertemu. Masih terasa jejak buainmu untuk terbang melintasi danau-danau masa depan. Kedatanganku ke tempat ini; kudengar kabarmu dari tempat yang jauh. Aku sudah merasa senang mendengar kabarmu. Terbukti juga kau bisa menaklukan kebisingan, meski dengan jalan yang berdeda denganku.
Aku pulang kembali ke tempat ini. Sementara pulang ke rumah? Ah, Aku berharap tidak terlambat melihat wajah-wajah yang menahan kerinduan itu. Sedalam keinginanku untuk tersenyum..
Jumat, 21 Maret 2008
Rantau
Langganan:
Postingan (Atom)