Senin, 31 Maret 2008

Luka Dalam Sepotong Dadu

Luka Dalam Sepotong Dadu

Sebuah peristiwa terlukis dengan baik, meskipun ia tidak pernah sempurna. Hanya sebuah serpihan dari luasnya samudra.

Pertemuan terakhirku denganmu, terkuak keangkuhan yang selamanya kelam. Masa lalu itu tidak pernah tertuntaskan, menghantui juga menyimpan kerinduan. Masih terngiang ucapanmu, saat dipersimpangan jalan menentukan itu, “adakah luka yang benar-benar sembuh?”
Getirmu memecah tangisku, dan jengkelmu terus tumpah kemudian. “Bagaimanapun bekas luka adalah cacat bagi kehidupan. Bagi diriku tentunya,” ucapmu mengalahkan isakku yang menjadi. Lewat tatap mata, kau seakan memintah restuku bahwa diriku sebagai subjek atas luka yang akan dengan sengaja kau jaga untuk kehidupan yang kita sebut masa depan.
Sejak saat itu kau telah mengajak aku bertaruh dengan kehidupan. Luka, tepatnya hanya bekas luka, kau lempar sebagai dadu. Lalu apa yang dipertaruhkan, sehingga kau merasa menang? Kesetiankah? Egoisme atau penghianatan? Bagimu hanya ada satu pilihan dari dua kemungkinan. Kau berkata, “pilihan itu hanya dua; kesetian atau penghianatan,’’ tersenyummu sinis kepadaku. Sedangkan egosime, jauh-jauh hari pilihan ketiga yang kugugatkan padamu tidak pernah ada dalam kamusmu.
“Seharusnya kau menambah satu dari tiga pilihan itu,” protesku yang mengumam di udara. Sebab kau tidak pernah memperdulikannya. Kau berlalu setelah lebih dulu mengibaskan hianat dalam kanvasku. Menurutmu, itu ingkar atas sebuah janji.


Berbeda denganmu, dengan gagah memanggul kesetian. Kau lupa kemenangan dalam perjudian selalu membuat nanar mata, menjebak diri untuk bertaruh pada yang lebih besar. Sekali lagi kau mempertaruhkan kehidupan ini, bukan lagi kesetiaan seperti versimu.
Merah darah pada dadu lukamu adalah perih yang menandakan bahwa kehidupan ini dibangun dari satu kehilangan pada saatnya. Dan kepemilikan itu tidak benar-benar ada. Sefana dunia ini, menungggu kepulangannya dijemput peraduan yang lebih abadi. Ini yang kemudian kau sebut menciderai janji?
Seperti yang pernah kau katakan kepadaku, “apalagi yang kumiliki selain janji. Karenanya aku menjaganya.”
“Apakah dengan begitu, kau akan menagih setiap janji,” selidikku.
“Kalau perlu,” jawabmu
“Jadi ini semacam imbalan atas kesetian janjimu,” lebih dalam aku mengejar jawabmu.
“Bisa jadi, mengapa tidak?” ujarmu membenarkan tapi masih belum jelas betul.
Dan ketika janji yang sengaja kau jaga itu diuji oleh perpisahan kita. Kau mulai menagih atas kesetiaanku. Kau harus ingat, bahwa perpisahan itu suatu keharusan, di saat itulah seharusnya kita menyerah. Ini bukan semata karena sebuah janji. Bukankah setiap perpisahan mempunyai penjelasan sendiri. Dalam keadaan ini aku tidak pernah memintamu untuk tidak menghukumku atas semua janji yang telah kita buat untuk meretas jalan baru denganmu.
Aku hanya mencoba membuat pilihan lain, selain dari kesetiaan atau pengingkaran. Dengan begitu, aku harap kau mencoba memahami keputusanku, meskipun sedikit. Kau telah menghukumku dengan masa lalu yang tidak pernah tutup buku. Itu karmaku. Mungkin awal kutukan dari dadu lukamu yang akan mengikutiku sepanjang sisa hidup ini. Ya, secercah rasa bersalah mencibirku dengan mengendap-ngendap. Udara yang kuhirup, kesenangan barangkali, diperoleh dari kehilanganmu atas diriku. Lukamu yang terus menagih hutang masa laluku.
Tapi layaknya diriku, karma itu juga milikmu. Kita tidak bisa menolaknya. Bedanya, aku sadar itu akan datang, cepat atau lambat. Sesadar akan ingkarku atas janji kita. Sedangkan dirimu? Monumen lukamu yang telah menghalangi, sehingga masa lalu itu selalu kau kipas untuk terus membara.
Tidak cukupkah masa lalu itu dijadikan pelajaran. Dengan begitu masa depan itu akan lebih arif dijalankan. Hutangmu adalah menghentikan kehidupanmu. Tidak berani untuk mencoba membuka hal yang baru. Kau terlalu pagi untuk menyerah hanya pada satu bekas luka.
*********
Satu dekade berlalu, masih setia mengusap-ngusap berhala lukamu. Satu dekade telah kau menangkan kesetiaan atas janji kita. Bagiku itu hanya bentuk kenikmatan lain dari imbalan kesetianmu. Tidak perlu heran, bagimu mengagungkan masa lalu bukan perkara sulit. Ia merupakan ibu asuh yang paling memanjakanmu.
Satu dekade kita berjumpa lagi. Disebuah bangku tempat pertama kali kita berjumpa, sesuai perjumpaanmu. Tak banyak yang berubah darimu, selain kerut wajah yang semakin menua. Kau tetap seperti dulu tidak pandai berbasa-basi. “Kau bahagia dengan hidupmu sekarang,” sapamu kepadaku. “Aku telah belajar pada perpisahan kita. Apa yang ada, itulah yang kita punya mesti sementara,” begitu aku membela diri, sementara kau masih diam saja.
“Bisakah kau menerimanya,” tambahku.
“Tentu saja, itu kenyataan, seperti.......,” suara tersendak.
“Seperti lukamu yang kau agung-agungkan itu,” potongku kemudian.
“Kau selalu haus terhadap kehidupan baru, kau mencintainya terlalu berlebih,” timpalmu.
“Tapi bukankah, aku begitu tulus kepadamu?”
“Setulus pada biduk hidupmu sekarang?”
“Harus seperti itu, itu tandanya kehidupan,” jawabku atas pertanyaan retorikmu. Ada perubahan dari rona wajahmu. Sepertinya gelisah. Aku tidak tahu pasti, mungkin kau merasa dihianati untuk kedua kalinya. Mungkin yang menguatkanmu dalam pertaruhanmu adalah sebuah harapan bahwa serpihan hatiku menyisahkan asah yang terdalam untukmu.
“Lalu, apa inginmu terhadapku,” suaramu menghempas keheningan. Aku tergagap. Dengan tepat kau menerka pikiranku. Satu keinginan yang mendua. Untuk berhenti menyalahkanku, melanjutkan hidupmu sebagaimana hidup yang dianggap wajar. Namun, dipangkal hati terdalam, ada kesejukan dari caramu mencintaiku.
“Tidak jangan kau memintanya, sudah biarkan saja. Hanya ini yang kupunya sekarang,” kata-katamu menghentikan lamunanku. Kau berlalu, pesanmu sederhana; ku tak lagi dihatimu. Hanya saja lukamu terasa abadi bagiku. Sebab kalah dan menang menjadi candu dalam setiap lemparan dadumu. Pertaruhan atas sebuah luka berderai, kini kau benar-benar menghentikan hidupmu dengan caramu tentunya.