Selasa, 18 Maret 2008

Tangan Yang Memeluk Kaki


Tangan Yang Memeluk Kaki
Dari seorang teman. Sungguh ini hanya sebuah kisah, jangan pernah merasa sebagai milik perorangan. Kalaupun ada yang mengerutkan dahi, hati berdesir dan amarah memuncak dengan kelahiran pikiran ini, ya cukup di udara saja. Carilah dari apa yang tersembunyi. Sebab di sana ia bersemayam.

Namaku Ima. Ibu selalu memanggilku begitu, itu nama kecilku. Lama sudah nama itu tidak terdengar. Nama Ima itu hanya terdengar ketika aku pulang mengujungi ibu. Panggilan Ima terhadapku semakin jarang terdengar, hanya ibuku diusia senjanya sekali-kali masih memanggilku Ima. Selebihnya dia lebih banyak menghabiskan dengan kesibukan mengurus rumah.
Di luar rumah orang lebih mengenalku sebagai Anggi. Suatu sebutan dari Anggraini, nama belakangku. Awalnya aku selalu “membetulkan” panggilan Anggi dengan Ima. Lambat laun aku merasa itu tiada guna. “Bagaimana mungkin aku menolak sebutan Anggi,” pikirku. “Itu lebih maju dan seksi dibanding sebutan Ima. Tapi Ibu memanggilku Ima. Tidakkah mereka tahu itu?” Kuanggap itu cara mereka meng-Ima-kan diriku. Lagi pula aku tidak bisa menjadi istimewa dimata mereka hanya karena aku ingin disebut dengan panggilan Ima seperti Ibu memanggil. Aku tidak mungkin meratap dan memohon untuk itu. Mereka memanggilku Angggi, biarkan saja. Toh itu hanya sebuah panggilan. Aku juga mulai terbiasa dengan sebutan tersebut, hanya setiap kali memperkenalkan diri kusebut nama lengkapku, “Ima Anggraini,”. Ya, namaku Ima Angraini.

Dan dirimu Han yang memanggilku Ima. Kamu yang memberikan pilihan kepadaku, harus seperti apa kau memangilku. Perkenalan denganmu yang akhirnya memaksa bercerita banyak hal tentang diri. Hari itu, ketika tangan kita berjabat dan aku berkata, “Ima Anggraini,”. Dirimu tersenyum, kemudian bertanya, “aku harus memanggilmu dengan nama bagaimana? Ima, Anggra atau Aini?”. “Terserah,” timpalku. “Tapi aku lebih senang jika dipanggil Ima.” Kamu tertawa terpingkal sambil melepas jabatan tangan kita. Aku awalnya berpikir, kau tidak jauh berbeda dengan banyak temanku yang selalu mentertawakan namaku, ketika ku sebut Ima dengan nada penuh tekanan.
Aku memperlihatkan wajah tidak suka terhadap tawamu. Sebelum kemudian kau berwajah kesungguhan dalam menatapku, “Aku akan memanggilmu Ima, memang terdengar agak kuno tapi aku pikir itu baik untuk kita. Biar menjadi dekat,” katamu. “Dan dirimu boleh memanggilku Han. “
Saat itu kau telah berhasil mencuri hati, dan aku tidak perlu tahu lebih jauh siapa dirimu. Kau tidak perlu membawakan bunga untukku siap pagi hari. Tak perlu pula kau berbusa merangkai kata-kata rayuan. Sudah cukup, satu panggilan itu. Jika panggilanmu layak disebut rayuan, ah kau boleh bangga karena mungkin itu rayuan termudah yang pernah kau lakukan terhadap perempuan. Bolehlah kau berbagi kabar dengan teman-temanmu betapa mudah --yang dalam bahasa disebut murahan— dalam mengaitku.
Soalku adalah tidak bertanya dulu sedalam apa kau memberikan hatimu padaku. Aku yang datang padamu bukan dirimu. Aku yang memperkenalkan diriku, tanpa aku ingin tahu secara pasti dirimu. Aku yang memberi kepastian sebagai kekasihmu sedangkan kau melihatku hanya sebagai perempuanmu, tanpa ada kepastian bahwa diriku adalah kekasihmu. Perempuan yang kau cintai.
Awalnya kau meminta tangan mulusku ini, kudiam saja tanda setuju. Kemudian kau melirik tubuhku, aku mengelak dan bertanya, “tapi Han, kau tidak mencintaiku,”. Kamu menyakinkan, “sungguh Ima aku mencintaimu.” Dan akhirnya aku tahu, ketika kebinalan itu memuncak, apa saja akan dilakukan untuk menuntaskannya.
Tidak banyak yang kau berikan kepadaku. Kau lebih banyak merengek, meminta. Dan sekali lagi, cukup dengan sekali permintaan, aku sudah pontang-panting memberikan. Pernah suatu kali, aku datang kepadamu membawa keperluanmu, seorang temanmu berkelekar, “Han, pakai apa kau, sehingga dia begitu menurut padamu.” “Mungkin, karena aku orang baik,” jawabmu kepada temanmu. Aku hanya tersenyum, sambil mendekatkan diri kepadamu, Hanku. “Mereka pikir perempuan mencintai seorang lelaki itu karena kebaikannya?,” pikirku. “Bagaimana bisa mereka punya pandangan tersebut, tidakkah mereka tahu bahwa perempuan mencintai lelaki lebih karena urusan perasaan?”
Di suatu waktu yang lain, ketika marahmu kambuh untuk menutupi kekuranganmu, aku tetap mengekor di belakangmu. Banyak celotehan di kanan kiriku, ada yang berbisik aku ini perempuan bodoh. Ada juga ocehan miring; perempuan kalau sudah tahu hangatnya dekapan lelaki, menguntit tanpa ada rasa malu lagi.
Tidakkah kau tahu Han. Dari setiap tulusku mengikutimu kuperoleh keindahan tentang bagaimana seharusnya hidup berbagi. Jadi jujur saja bukan semata karena kehangatanmu, walau itu juga kunikmati. Kau itu ibarat anggrek yang tumbuh di dahan pohonku. Bunga anggrek itu juga benaluh bukan? Tapi kau anggrekku maka kubiarkan kau menghisap sari pati pohonku. Kubiarkan demikian agar kau tetap menarik dan indah. Kau benaluh Han, keindahan benaluh.
Kemudian di sautu saat, kau meninggalkanku. Kau berpamit padaku; beralasan tentang kewajiban yang lebih tinggi. Lebih resmi menurutmu. Bagiku, kau beralasan setengah mengada-ada. Aneh rasanya melihat kau berbicara tentang kewajiban, yang lebih tinggi pula. Dan karenanya aku mendebatmu dengan sengit. Pijar sanggahanku meluncur dari gundukan amarah. Aku berkata, “kalau begitu jadikan aku yang resmi.” Ini adalah paksaan –untuk pertama kalinya— tentang kewajiban darimu, kepadaku. “Mana bisa, soalnya bukan tentang kau. Ini tentang banyak orang. Bukan hanya kita berdua,” jawabmu atas paksaku. Aku memandangmu sedalam mata bisa menjangkau endapan gelap di matamu.
Hasilnya, aku tidak pernah benar-benar mencari endapan gelap itu, sebab kau benaluh. Yang tiba-tiba pergi menjadi pelaut. Saat itu kulepas dirimu di bibir pantai perpisahan. Hanya sebelum lepas pukat dari jangkar, kuberitahu dirimu, siapa diriku.
Hanya badai, gemuruh gelombang yang pasti datang menyertai perjalananmu akan mengingatkan kau tentangku. Kepada perempuan yang kau panggil Ima ini, masa lalu akan terus menyala...Dipengujung pertemuan denganmu dan bekal perjalananmu, ibuku menghampiri dalam kesendiriannya; jangan bergantung pada kejantanan lelaki.
Dan nama ku Ima Angraini, ibuku yang memberikannya. Panggil aku, “Ima,” itu nama kecilku.