Sapa kembali pada gerimis
pembawa aromamu yang tenggelam dalam bising kota
seperti anyelir yang tiba-tiba semerbak
demikian dirimu terlukis dalam setiap sudut jalan di kota ini
lalu angin beliung membawa pudar perlahan
dirimu yang nyata dalam dekap jantungku
Minggu, 08 Februari 2009
Pada Gerimis
Senin, 31 Maret 2008
Luka Dalam Sepotong Dadu
Luka Dalam Sepotong Dadu
Sebuah peristiwa terlukis dengan baik, meskipun ia tidak pernah sempurna. Hanya sebuah serpihan dari luasnya samudra.
Pertemuan terakhirku denganmu, terkuak keangkuhan yang selamanya kelam. Masa lalu itu tidak pernah tertuntaskan, menghantui juga menyimpan kerinduan. Masih terngiang ucapanmu, saat dipersimpangan jalan menentukan itu, “adakah luka yang benar-benar sembuh?”
Getirmu memecah tangisku, dan jengkelmu terus tumpah kemudian. “Bagaimanapun bekas luka adalah cacat bagi kehidupan. Bagi diriku tentunya,” ucapmu mengalahkan isakku yang menjadi. Lewat tatap mata, kau seakan memintah restuku bahwa diriku sebagai subjek atas luka yang akan dengan sengaja kau jaga untuk kehidupan yang kita sebut masa depan.
Sejak saat itu kau telah mengajak aku bertaruh dengan kehidupan. Luka, tepatnya hanya bekas luka, kau lempar sebagai dadu. Lalu apa yang dipertaruhkan, sehingga kau merasa menang? Kesetiankah? Egoisme atau penghianatan? Bagimu hanya ada satu pilihan dari dua kemungkinan. Kau berkata, “pilihan itu hanya dua; kesetian atau penghianatan,’’ tersenyummu sinis kepadaku. Sedangkan egosime, jauh-jauh hari pilihan ketiga yang kugugatkan padamu tidak pernah ada dalam kamusmu.
“Seharusnya kau menambah satu dari tiga pilihan itu,” protesku yang mengumam di udara. Sebab kau tidak pernah memperdulikannya. Kau berlalu setelah lebih dulu mengibaskan hianat dalam kanvasku. Menurutmu, itu ingkar atas sebuah janji.
Berbeda denganmu, dengan gagah memanggul kesetian. Kau lupa kemenangan dalam perjudian selalu membuat nanar mata, menjebak diri untuk bertaruh pada yang lebih besar. Sekali lagi kau mempertaruhkan kehidupan ini, bukan lagi kesetiaan seperti versimu.
Merah darah pada dadu lukamu adalah perih yang menandakan bahwa kehidupan ini dibangun dari satu kehilangan pada saatnya. Dan kepemilikan itu tidak benar-benar ada. Sefana dunia ini, menungggu kepulangannya dijemput peraduan yang lebih abadi. Ini yang kemudian kau sebut menciderai janji?
Seperti yang pernah kau katakan kepadaku, “apalagi yang kumiliki selain janji. Karenanya aku menjaganya.”
“Apakah dengan begitu, kau akan menagih setiap janji,” selidikku.
“Kalau perlu,” jawabmu
“Jadi ini semacam imbalan atas kesetian janjimu,” lebih dalam aku mengejar jawabmu.
“Bisa jadi, mengapa tidak?” ujarmu membenarkan tapi masih belum jelas betul.
Dan ketika janji yang sengaja kau jaga itu diuji oleh perpisahan kita. Kau mulai menagih atas kesetiaanku. Kau harus ingat, bahwa perpisahan itu suatu keharusan, di saat itulah seharusnya kita menyerah. Ini bukan semata karena sebuah janji. Bukankah setiap perpisahan mempunyai penjelasan sendiri. Dalam keadaan ini aku tidak pernah memintamu untuk tidak menghukumku atas semua janji yang telah kita buat untuk meretas jalan baru denganmu.
Aku hanya mencoba membuat pilihan lain, selain dari kesetiaan atau pengingkaran. Dengan begitu, aku harap kau mencoba memahami keputusanku, meskipun sedikit. Kau telah menghukumku dengan masa lalu yang tidak pernah tutup buku. Itu karmaku. Mungkin awal kutukan dari dadu lukamu yang akan mengikutiku sepanjang sisa hidup ini. Ya, secercah rasa bersalah mencibirku dengan mengendap-ngendap. Udara yang kuhirup, kesenangan barangkali, diperoleh dari kehilanganmu atas diriku. Lukamu yang terus menagih hutang masa laluku.
Tapi layaknya diriku, karma itu juga milikmu. Kita tidak bisa menolaknya. Bedanya, aku sadar itu akan datang, cepat atau lambat. Sesadar akan ingkarku atas janji kita. Sedangkan dirimu? Monumen lukamu yang telah menghalangi, sehingga masa lalu itu selalu kau kipas untuk terus membara.
Tidak cukupkah masa lalu itu dijadikan pelajaran. Dengan begitu masa depan itu akan lebih arif dijalankan. Hutangmu adalah menghentikan kehidupanmu. Tidak berani untuk mencoba membuka hal yang baru. Kau terlalu pagi untuk menyerah hanya pada satu bekas luka.
*********
Satu dekade berlalu, masih setia mengusap-ngusap berhala lukamu. Satu dekade telah kau menangkan kesetiaan atas janji kita. Bagiku itu hanya bentuk kenikmatan lain dari imbalan kesetianmu. Tidak perlu heran, bagimu mengagungkan masa lalu bukan perkara sulit. Ia merupakan ibu asuh yang paling memanjakanmu.
Satu dekade kita berjumpa lagi. Disebuah bangku tempat pertama kali kita berjumpa, sesuai perjumpaanmu. Tak banyak yang berubah darimu, selain kerut wajah yang semakin menua. Kau tetap seperti dulu tidak pandai berbasa-basi. “Kau bahagia dengan hidupmu sekarang,” sapamu kepadaku. “Aku telah belajar pada perpisahan kita. Apa yang ada, itulah yang kita punya mesti sementara,” begitu aku membela diri, sementara kau masih diam saja.
“Bisakah kau menerimanya,” tambahku.
“Tentu saja, itu kenyataan, seperti.......,” suara tersendak.
“Seperti lukamu yang kau agung-agungkan itu,” potongku kemudian.
“Kau selalu haus terhadap kehidupan baru, kau mencintainya terlalu berlebih,” timpalmu.
“Tapi bukankah, aku begitu tulus kepadamu?”
“Setulus pada biduk hidupmu sekarang?”
“Harus seperti itu, itu tandanya kehidupan,” jawabku atas pertanyaan retorikmu. Ada perubahan dari rona wajahmu. Sepertinya gelisah. Aku tidak tahu pasti, mungkin kau merasa dihianati untuk kedua kalinya. Mungkin yang menguatkanmu dalam pertaruhanmu adalah sebuah harapan bahwa serpihan hatiku menyisahkan asah yang terdalam untukmu.
“Lalu, apa inginmu terhadapku,” suaramu menghempas keheningan. Aku tergagap. Dengan tepat kau menerka pikiranku. Satu keinginan yang mendua. Untuk berhenti menyalahkanku, melanjutkan hidupmu sebagaimana hidup yang dianggap wajar. Namun, dipangkal hati terdalam, ada kesejukan dari caramu mencintaiku.
“Tidak jangan kau memintanya, sudah biarkan saja. Hanya ini yang kupunya sekarang,” kata-katamu menghentikan lamunanku. Kau berlalu, pesanmu sederhana; ku tak lagi dihatimu. Hanya saja lukamu terasa abadi bagiku. Sebab kalah dan menang menjadi candu dalam setiap lemparan dadumu. Pertaruhan atas sebuah luka berderai, kini kau benar-benar menghentikan hidupmu dengan caramu tentunya.
Jumat, 21 Maret 2008
Rantau
Rantau
Kembali hadir dengan kegalauan. Selalu ingin berlari dengan nafas yang tersengal. Selamat membaca.
Aku pulang kembali. Bukan ke tempat asalku memang. Bukan ke tempat di mana aku di perkenalkan untuk pertama kalinya pada suatu nama. Aku kembali pulang kepada suatu tempat dimana kita pertama kali bertemu. Aku pulang ke tempat dimana sebuah asah tentang cita dan cinta tumbuh dan disemai. Aku kembali pulang kepada tempat dimana untuk pertama kalinya aku berangkat melancong dengan segala kecemasan tentang dunia anta-beranta.
Sengaja aku kembali pulang ke tempat penuh buai ini. Meskipun aku sadari, sesungguhnya tidak minat penuh untuk kembali lagi. Untuk apa tempat ini lagi? Jujur saja, semakin sedikit orang yang kukenal. Jarum jam seakan terhitung mundur untuk menghapus semua orang-orang yang pernah kukenal. Semuanya hanya menunggu waktu untuk menjadikan aku asing.
Ya, seharusnya aku tidak kembali ke tempat kita bertemu lagi. Aku sadar itu. Jika aku bertemu dirimu lagi dan kumintai saran dirimu – bahkan tanpa diminta pun— kau akan bertanya, “mengapa kau tetap di sini?” di tempat kita untuk pertama kalinya bertemu. Dan tanpa kujawab pun kau akan menghujamku dengan nasehat untuk segera mengukir situs baru, yang tentunya tidak di tempat ini.
Aku pun berpikir demikian. Seharusnya aku tidak kembali ke tempat ini lagi. Suatu belukat berangin sepoi yang meninabobokan ini. Seharusnya aku hanya datang sesekali ke tempat ini. Aku tahu, tempat ini lebih pantas hanya dikunjungi daripada ditinggali. Dengan hanya berkunjung angin sepoi itu akan membelai rasaku, merangsang senyumku kepada kenangan masa lalu. Mungkin kepada teman-teman lama, dan pasti kepadamu. Dengan demikian jaring-jaring jenaka di hari-hari bersama kemarin itu akan terasa nikmat.
Seharusnya aku kembali pulang ke tempat dimana aku dilahirkan. Kepada orang-orang yang dengan setia menunggu kepulanganku. Kepada seorang nenek yang masih mengangap aku seperti anak belasan tahun, yang tetap memberikan beberapa lembar uang ribuan. Juga kepada Ibu dan Ayahku bukan? Yang selalu bertanya, “berapa lama kau tinggal di rumah.” Dan karena jawabku hanya menunjuk pada bilangan hari, mereka berbuat apa saja untuk menjamu dan menyenangkanku. Hari yang pendek di rumah sendiri adalah sebuah nikmat seorang anak. Sebuah daya pikat arti keluarga.
Tidak. Bukan karena aku ingin menjebakkan diri pada lingkup yang memabukan ini. Semuanya hanya sebuah pilihan. Aku sudah sering bercerita kepadamu bahwa aku tidak mungkin terlalu lama di tempat kelahiranku. Tak banyak yang dapat aku kerjakan di sana. Jangan kau tanya tentang kerinduan. Bukankah tidak ada tempat yang paling nyaman selain tempat dimana kita terlahir untuk pertama kali? Mungkin selalu ada perselisihan tapi semuanya hanya bentuk lain dari ketulusan kasih sayang. Aku sudah berulang kali berujar kepadamu bahwa cinta keluarga adalah cinta kedua yang tanpa pamrih selain yang menciptakan kita.
Bukan soal kerinduan. Soalnya adalah derap untuk berpacuh itu yang memaksa untuk saling meninggalkan. Aku tahu, orang-orang rumah menyimpan rindu yang dalam dibandingkan aku. Sebab mereka tahu aku mempunyai keinginan, dilepaslah diriku dengan mata air tulus. Ibu selalu berkata, “dimanapun kau berada asal bahagai tidak soal bagi ibu.”
Aku memilih tempat ini untuk kembali pulang sebab di sini tempat terbaik untuk saat ini. Kepada banyak pihak yang mempertanyakan bahwa kepulangan ini dianggap sebagai kemandekan aku pun memakluminya. Di sini juga tidak banyak yang aku kerjakan selain napak tilas yang juga mulai membosankan. Tapi aku berpikir ini lebih baik dibandingkan aku kembali ke rumah. Jujur saja aku belum berani pulang hanya untuk berbagi keresahan betapa aku kini mulai tersingkir dari arena pacu. Harapan tinggi penghuni rumah telah dibayar dengan kerelaan dalam menunggu rindu. Makanya aku kembali ke tempat ini lagi.
*******
Aku kembali pulang di tempat ini lagi setelah kemarin aku pergi –mencoba beringsut tepatnya—menuju tempat lain. Aku begitu risau ketika mendegar lengkingan peluit kereta api yang akan membawaku. Kuhitung kemungkinan-kemungkinan di sana. Siapa yang harus kuhubungi terlebih dulu? Ada beberapa teman lama yang katanya sudah berhasil. Aku punya semua kontaknya. Tapi risauku tetap tidak bisa pergi dari kepala. Ia terus menggodaku dengan kemungkinan buruk. Bagaimana mereka menanggapi kedatanganku? Masihkah mereka akan bersikap seperti dulu ketika bersama di tempat ini?
Mungkin ada beberapa tapi itu tidak menjamin. Waktu akan menghapus semua yang silam. Hanya ada butiran-butiran kecil yang membekas, dan pasti akan menguap juga seiring penat hari yang semakin panas. Aku selalu menimbang, ya aku orangnya tidak begitu nekat. Jika menggantung kepada orang lain, aku kira itu bukan jawaban atas semua keinginan untuk berjalan maju.
Kuhitung kembali bekal dalam benakku. Ada beberapa rupiah di saku. Aku juga tidak tahu, dalam kebingunganku di tempat persinggahan baru –kutaklukan kalau bisa— akan bertahan berapa lama. Lalu kukuatkan diri dengan kemungkinan nasib baik, “semua akan membaik bila aku diterima,” gumamku pada diri sendiri.
Sebelumnya seorang teman memberi saran untuk bertahan di tempat baru itu. Di sana banyak pilihan. “Setiap kota itu bagai tempurung, semakin besar tempurungnya semakin akan semakin jauh melompat,” nasehatnya.
“Di sana banyak orang saling melompat kawan,” sanggahku. “Memang kau pikir aku punya lompatan sangat jauh.” Temanku itu masih belum menyerah, “kalau tidak bisa melompat jauh, ya carilah pijakan yang kuat dan bergelantunglah pada gantungan yang kokoh,” ocehanya kepadaku kemudian. “Itu soalnya. Aku tidak tahu gantungan yang kokoh itu. Lagi pula aku tidak tahu sejauh mana aku bisa melompat,” tandasku. “Makanya perlu dicoba,” dia berlalu mengakhiri pembicaraan.
Aku pikir, kepergianku dari tempat ini semacam uji coba. Tidak, mungkin ini hanya coba-coba. Toh akhirnya, tidak ada waktu untuk berpikir lebih panjang lagi. Kereta menjerit, perlahan gerbong-gerbong tua itu meliuk-liuk. Aku tergunjang-gunjang di dalamnya, sama seperti dalam mimpiku yang datang selih berganti, antara ketakutan hidup terlunta dan senyum untuk berbagi cerita sentosa.
******
Aku ingin tersenyum di tempat baru ini, meski bisingnya minta ampun. Tidak ada senyum di sini. “Ini tidak mendadak,” keluhku. Semunya berjalan terburu seakan berlomba dalam mencari tempat berteduh. Mungkin karena tidak ada kepastian. Semuanya berlalu begitu cepat.
Ku hubungi teman-teman lamaku. Ada yang mau menampungku. Tapi tetap saja muncul pertanyaan tentang keperluanku. Ku jawab, “aku beruji coba, jika berhasil akan tinggal di sini.” Jawabku membuat semua mengerti. Maklum, banyak orang yang terus berdatangan ke tempat ini. Di sini, tempat orang mencari kerja, berjuang dan berkarya.
Tapi semuanya tidak berjalan sesuai dengan keinginan. “Ada yang tidak beres dengan kesempatan ini,” pikirku. Betapa tidak, ketika aku harus menyambutnya dengan percaya diri. Sementara rasa takut dan getir disembunyikan dibalik punggung. Ditutup rapat. Ada bahaya mengendap, jika apa yang ada dibalik punggungku bisa ketahuan. Itu sama artinya aku tidak memperoleh apa-apa. Tidak ada prestasi, tidak ada situs baru dan tidak ada pula senyum itu.
Dan sekali lagi itu menjadi masalah bagiku. Aku benar-benar harus belajar, agar orang percaya terhadap yang kumiliki dan menafikkan atas kekuranganku. Ini seni tingkat tinggi, tidak bisa diformilkan. Aku pikir juga tidak ada hubungannya dengan nasib baik. Ini benar-benar kedinginan untuk tidak menghiraukan segala hiruk-pikuk di sekitar. Cuek!!!!
Sementera waktu terus beringsut, tak juga datang kabar keberhasilan itu. Suatu yang barangkali begitu berat sebab semuanya hanya ilusi yang berdentum dengan keras. Gema berputar seperti beliung yang jalang menghempaskan siapa saja. “Tanpa ada yang pasti, mustahil aku bertahan di sini,” bertutur aku sambil menengadah pada langit yang tidak berbintang. Cukup sudah kali ini. Mungkin aku datang kembali lain kali, mengadu badan dengan bising di sini. Lebar juga kemungkinan aku terpelanting dan terjatuh. Tapi apa salahnya menambah satu kegagalan.
Dan kini aku kembali pulang ke tempat pertama kali kita bertemu. Masih terasa jejak buainmu untuk terbang melintasi danau-danau masa depan. Kedatanganku ke tempat ini; kudengar kabarmu dari tempat yang jauh. Aku sudah merasa senang mendengar kabarmu. Terbukti juga kau bisa menaklukan kebisingan, meski dengan jalan yang berdeda denganku.
Aku pulang kembali ke tempat ini. Sementara pulang ke rumah? Ah, Aku berharap tidak terlambat melihat wajah-wajah yang menahan kerinduan itu. Sedalam keinginanku untuk tersenyum..
Selasa, 18 Maret 2008
Tangan Yang Memeluk Kaki
Tangan Yang Memeluk Kaki
Dari seorang teman. Sungguh ini hanya sebuah kisah, jangan pernah merasa sebagai milik perorangan. Kalaupun ada yang mengerutkan dahi, hati berdesir dan amarah memuncak dengan kelahiran pikiran ini, ya cukup di udara saja. Carilah dari apa yang tersembunyi. Sebab di sana ia bersemayam.
Namaku Ima. Ibu selalu memanggilku begitu, itu nama kecilku. Lama sudah nama itu tidak terdengar. Nama Ima itu hanya terdengar ketika aku pulang mengujungi ibu. Panggilan Ima terhadapku semakin jarang terdengar, hanya ibuku diusia senjanya sekali-kali masih memanggilku Ima. Selebihnya dia lebih banyak menghabiskan dengan kesibukan mengurus rumah.
Di luar rumah orang lebih mengenalku sebagai Anggi. Suatu sebutan dari Anggraini, nama belakangku. Awalnya aku selalu “membetulkan” panggilan Anggi dengan Ima. Lambat laun aku merasa itu tiada guna. “Bagaimana mungkin aku menolak sebutan Anggi,” pikirku. “Itu lebih maju dan seksi dibanding sebutan Ima. Tapi Ibu memanggilku Ima. Tidakkah mereka tahu itu?” Kuanggap itu cara mereka meng-Ima-kan diriku. Lagi pula aku tidak bisa menjadi istimewa dimata mereka hanya karena aku ingin disebut dengan panggilan Ima seperti Ibu memanggil. Aku tidak mungkin meratap dan memohon untuk itu. Mereka memanggilku Angggi, biarkan saja. Toh itu hanya sebuah panggilan. Aku juga mulai terbiasa dengan sebutan tersebut, hanya setiap kali memperkenalkan diri kusebut nama lengkapku, “Ima Anggraini,”. Ya, namaku Ima Angraini.
Dan dirimu Han yang memanggilku Ima. Kamu yang memberikan pilihan kepadaku, harus seperti apa kau memangilku. Perkenalan denganmu yang akhirnya memaksa bercerita banyak hal tentang diri. Hari itu, ketika tangan kita berjabat dan aku berkata, “Ima Anggraini,”. Dirimu tersenyum, kemudian bertanya, “aku harus memanggilmu dengan nama bagaimana? Ima, Anggra atau Aini?”. “Terserah,” timpalku. “Tapi aku lebih senang jika dipanggil Ima.” Kamu tertawa terpingkal sambil melepas jabatan tangan kita. Aku awalnya berpikir, kau tidak jauh berbeda dengan banyak temanku yang selalu mentertawakan namaku, ketika ku sebut Ima dengan nada penuh tekanan.
Aku memperlihatkan wajah tidak suka terhadap tawamu. Sebelum kemudian kau berwajah kesungguhan dalam menatapku, “Aku akan memanggilmu Ima, memang terdengar agak kuno tapi aku pikir itu baik untuk kita. Biar menjadi dekat,” katamu. “Dan dirimu boleh memanggilku Han. “
Saat itu kau telah berhasil mencuri hati, dan aku tidak perlu tahu lebih jauh siapa dirimu. Kau tidak perlu membawakan bunga untukku siap pagi hari. Tak perlu pula kau berbusa merangkai kata-kata rayuan. Sudah cukup, satu panggilan itu. Jika panggilanmu layak disebut rayuan, ah kau boleh bangga karena mungkin itu rayuan termudah yang pernah kau lakukan terhadap perempuan. Bolehlah kau berbagi kabar dengan teman-temanmu betapa mudah --yang dalam bahasa disebut murahan— dalam mengaitku.
Soalku adalah tidak bertanya dulu sedalam apa kau memberikan hatimu padaku. Aku yang datang padamu bukan dirimu. Aku yang memperkenalkan diriku, tanpa aku ingin tahu secara pasti dirimu. Aku yang memberi kepastian sebagai kekasihmu sedangkan kau melihatku hanya sebagai perempuanmu, tanpa ada kepastian bahwa diriku adalah kekasihmu. Perempuan yang kau cintai.
Awalnya kau meminta tangan mulusku ini, kudiam saja tanda setuju. Kemudian kau melirik tubuhku, aku mengelak dan bertanya, “tapi Han, kau tidak mencintaiku,”. Kamu menyakinkan, “sungguh Ima aku mencintaimu.” Dan akhirnya aku tahu, ketika kebinalan itu memuncak, apa saja akan dilakukan untuk menuntaskannya.
Tidak banyak yang kau berikan kepadaku. Kau lebih banyak merengek, meminta. Dan sekali lagi, cukup dengan sekali permintaan, aku sudah pontang-panting memberikan. Pernah suatu kali, aku datang kepadamu membawa keperluanmu, seorang temanmu berkelekar, “Han, pakai apa kau, sehingga dia begitu menurut padamu.” “Mungkin, karena aku orang baik,” jawabmu kepada temanmu. Aku hanya tersenyum, sambil mendekatkan diri kepadamu, Hanku. “Mereka pikir perempuan mencintai seorang lelaki itu karena kebaikannya?,” pikirku. “Bagaimana bisa mereka punya pandangan tersebut, tidakkah mereka tahu bahwa perempuan mencintai lelaki lebih karena urusan perasaan?”
Di suatu waktu yang lain, ketika marahmu kambuh untuk menutupi kekuranganmu, aku tetap mengekor di belakangmu. Banyak celotehan di kanan kiriku, ada yang berbisik aku ini perempuan bodoh. Ada juga ocehan miring; perempuan kalau sudah tahu hangatnya dekapan lelaki, menguntit tanpa ada rasa malu lagi.
Tidakkah kau tahu Han. Dari setiap tulusku mengikutimu kuperoleh keindahan tentang bagaimana seharusnya hidup berbagi. Jadi jujur saja bukan semata karena kehangatanmu, walau itu juga kunikmati. Kau itu ibarat anggrek yang tumbuh di dahan pohonku. Bunga anggrek itu juga benaluh bukan? Tapi kau anggrekku maka kubiarkan kau menghisap sari pati pohonku. Kubiarkan demikian agar kau tetap menarik dan indah. Kau benaluh Han, keindahan benaluh.
Kemudian di sautu saat, kau meninggalkanku. Kau berpamit padaku; beralasan tentang kewajiban yang lebih tinggi. Lebih resmi menurutmu. Bagiku, kau beralasan setengah mengada-ada. Aneh rasanya melihat kau berbicara tentang kewajiban, yang lebih tinggi pula. Dan karenanya aku mendebatmu dengan sengit. Pijar sanggahanku meluncur dari gundukan amarah. Aku berkata, “kalau begitu jadikan aku yang resmi.” Ini adalah paksaan –untuk pertama kalinya— tentang kewajiban darimu, kepadaku. “Mana bisa, soalnya bukan tentang kau. Ini tentang banyak orang. Bukan hanya kita berdua,” jawabmu atas paksaku. Aku memandangmu sedalam mata bisa menjangkau endapan gelap di matamu.
Hasilnya, aku tidak pernah benar-benar mencari endapan gelap itu, sebab kau benaluh. Yang tiba-tiba pergi menjadi pelaut. Saat itu kulepas dirimu di bibir pantai perpisahan. Hanya sebelum lepas pukat dari jangkar, kuberitahu dirimu, siapa diriku.
Hanya badai, gemuruh gelombang yang pasti datang menyertai perjalananmu akan mengingatkan kau tentangku. Kepada perempuan yang kau panggil Ima ini, masa lalu akan terus menyala...Dipengujung pertemuan denganmu dan bekal perjalananmu, ibuku menghampiri dalam kesendiriannya; jangan bergantung pada kejantanan lelaki.
Dan nama ku Ima Angraini, ibuku yang memberikannya. Panggil aku, “Ima,” itu nama kecilku.
Senin, 17 Maret 2008
Lontar Perempuan Dari Masa Lalu
Ini tulisan saya terakhir yang nongol di media cetak, hampir satu tahun yang lalu, lama ya? saya sih uda coba terus tuk mengirim tulisan-tulisan yang lain, sayang belum ada yang laku. Tapi saya tahu itu hanya sepenggal kisah untuk membesarkan anak-anak kita. Kini, blog ini akan menjadi orang tua asuh yang baik untuk membesarkan anak-anak pikiran saya.
Jambangmu Mik, yang membuat aku semakin yakin bahwa sepi kini telah menjadi ideologi baru dalam sisa hidupmu. Setelah kemarin, kau bergelut dengan kegelisahan tentang penerimaan dari keharusan menjalani denting nada kehidupan.
Satu nada lagu kau peruntukkan untukku. Aku tahu telah banyak kau ciptakan lagu kehidupan lain, juga untuk yang lainnya. Sudahlah, cukup untukmu dalam mengagungkan seorang nama. Bahkan untuk diriku.
Lagumu Mik, yang memaksa rayuan banyak orang tiada pernah membekas dihatiku. Sampai akhirnya, engkau juga rasa. Riak gemuruh aku alirkan, kusandarkan segala asahku pundakmu. Aku juga tahu, kau terus bertanya, jejak kisah yang kurenggut lewat pesona, biji asmara yang ku tebar dilapang kaki-kaki kekar.
Jawabku mungkin tidak pernah membuatmu lega. Aku tahu bahasa tubuh tidak membuatmu yakin tentang hasrat rasa dari hati yang terdalam. Karena begitu saja kau menampik setiap pesan yang datang ditujukan kepadamu. Katamu, “jangan percaya dengan tanda-tanda sebab ia sering menjebakmu, apalagi dari orang yang paling kau cintai”. Berkali-kali ku menyindirmu lewat gerak dan ucap yang bergurau. Sungguh aku telah menakarmu; untuk menjadi muara dari segala pengharapan.
Sampai malam hari itu, tempat kita bertemu yang terakhir. sebelum pagi hari, dimana kau mengatarku; aku berhasil meyakinkanmu. Kita begitu mencitai gelap malam itu. Untuk hal ini ijinkan aku mewakili warna dihatimu. Kita sepakat untuk saling berbagi. Seperti katamu, yang sering kau kutip dari pendapat temanmu, “menjadikan kamar mandi itu untuk ditempati bersama.”
Tapi Mik, beban itu bukan kita saja yang menanggung. Kita telah melakukan banyak laku untuk membujuk orang supaya mereka berdiri dibelakang kita. Keyakinan kita, pada masing-masing gelora hati kita telah disodorkan sebagai sutau kebanaran.
Aku kehilangkan sentuhan untuk membuat mereka percaya bahwa hasrat pada diri kita benar-benar bernilai baik. Mereka terlalu angkuh untuk menerima hasrat kita. Aku menyerah....
Tergesah aku meninggalkanmu. Memberi kau amarah. Layaknya mata hewan yang dikorbankan, kau melepasku demi sebuah keharusan yang lebih kuat. Lebih egois menurutmu. Sekali lagi kau harus mengulang makna dari penerimaan. Kehilangan sampai kau temukan lagi haru biru roman yang berkelindan itu... ah, mungkin itu hanya pengharapanku.
Nyatanya, Mik. Kau tidak berdamai dengan romantisme masa lalumu. Masa lalu kita. Dimana aku telah melangkah jauh. Hari ini telah kubesarkan anak-anakku. Menemani mereka pergi ke sekaloh. Telah ketemukan betapa nikmat menganti popok mereka. Telah juga kualami getir malam, saat-saat nyawa kecil itu kehauasan dan kedinginan.
Kupandangkan pandanganku kepadamu. Sedikit mengajakmu pada yang belum kau alami. Walau mungkin telah kau pikirkan. Membagi hidup dengan orang lain, satu rumah, satu kamar mandi memerlukan pengorbanan yang luar biasa. Bahkan keharusan mengubur masa lalu.
Memang terkadang, wajah kerasmu tersembul di atap-atap kamar tidurku. Pada saat terakhir kau mengatarku, melewati jembatan berkelok menuju stasiun kereta di pagi buta. Di pagi hari yang dingin, sedingin kita yang seakan tahu itu hari terakhir buat janji kita. Pengingkaran terhadap segala macam bentuk pengecualian yang bergema diantara sekian paru kita bahwa rialitas dapat kita kalahkan. Pengingkaran bahwa kita terlahir dari kehendak orang yang menyuapi kita. Kita berbicara keharusan untuk tunduk, dengan dua pilihan; keinginan gelora hati yang tanpa kesekapatan dengan begitu banyak ego dari masing-masing kita. Atau kita harus tunduk pada kesepakatan kita, hanya kita. Tanpa kesepatan yang lain. Pada liang kita, pada Tuhan kita dan pada adat kita.
Serentak kemudian, bayangmu hilang dan derap langkah dari ayah anak-anakku mendekat dengan kelelahan yang tidak dibuat-buat karena telah berkerja sepanjang hari yang menyengat. Awalnya, bayangmu bukan hanya ada di atas kamar. Tapi juga di dinding kamar, di jendela, juga di meja tempat aku memasak. Tapi kini bayangmu sudah jarang datang. Sesering aku untuk mencoba memberi ketulusan kepada laki-laki yang telah memberikan kelahiran dari anak-anakku. Dan anak-anak yang riang, berangsur membesar telah menelan semua bayang dirimu muncul. Mungkin bayangmu berusaha datang dari jalan gelap menuju rumuhku. Tapi sudah tidak berani memasuki rumah anak-anakku.
Kau tahu hidup ini bukan hanya batas haru biru. Aku tidak bilang dengan kesendirian itu kau hanya berdiam diri. Mungkin kerasnya hidup yang kau jalani setelah hari-hari yang tidak kuketahui lebih menempamu tentang makna kehidupan. Mungkin banyak hal yang besar telah kau lakukan. Hanya kesendirianmu yang tetap membuatku gelisah.
Pilihan untuk tetap menyendiri sudah cukup lama, untukmu Mik. Jika luka untuk disembuhkan ada padamu telah dilalui. Kesendirianmu yang menjelaskan bahwa waktu bukan penghapus luka. Jangan, jangan katakan kamu tidak terluka. Bergesaslah berpaling dariku, jika luka itu dimulai dari pemantik api yang kunyalakan. Padamkan.
Kemudian hari beringsut senja. Setelah bolak-balik kubaca suratmu. Tarikan nafas yang dalam dan hembusan yang panjang mengakhir sepucuk suratmu. Aku belum berniat membalasnya...mungkin juga tidak.